Kam. Mar 28th, 2024

1. Cerita Sangkuriang dan Asal-Usul Gunung Tangkuban Perahu

Kisah ini bermula dari seorang dewa dan seorang dewi yang karena kesalahan yang dibuatnya di kayangan, akhirnya harus menjalani hukuman di dunia. Keduanya dihukum untuk berbuat kebaikan dalam hidupnya di bumi dalam bentuk seekor babi hutan dan seekor anjing. Babi hutan jelmaan dewi itu bernama Wayung Hyang, sedangkan anjing jelmaan dewa itu bernama Tumang. Wayung Hyang karena dihukum sebagai babi hutan atau celeng, maka ia berusaha melakukan berbagai kebaikan di dalam sebuah hutan. Sementara Tumang, sang anjing jelmaan dewa itu mengabdi sebagai anjing pemburu pada seorang raja yang bernama Sumbing Perbangkara.

Baca juga artikel mengenai Klub Sepak Bola Bandung dan masih banyak lagi info mengenai kota Bandung hanya di Pesona Bandung.

Pada suatu hari, raja Sumbing Perbangkara berburu ke hutan di tepi kerajaan. Di suatu tempat yang dekat dengan tempat tinggal babi hutan Wayung Hyang, Sumbing Perbangkara ingin sekali kencing. Ia kemudian kencing dan tanpa sengaja, tertampung dalam sebuah batok kelapa. Selang beberapa saat, babi hutan Wayung Hyang yang sedang kehausan kemudian meminum air kencing Sumbing Perbangkara. Siapa sangka, Wayung Hyang akhirnya hamil. Selengkapnya…

2. Legenda Asal Mula Nama Kota Bandung

Alkisah pada zaman dahulu kala di tanah pasundan, di pinggiran sungai Citarum hidup lah seorang kakek tua yang terkenal karena memiliki ilmu sakti mandraguna. Disana Ia tinggal bersama anak perempuannya yang cantik jelita, Sekar. Selain Sekar, Empu Wisesa memiliki 2 orang murid Jaka dan Wira, Ia menemukan mereka ketika masih bayi di sebuah desa yang hancur berantakan karena letusan gunung tangkuban perahu yang hingga saat itu lahar nya masih sering membahayakan area sekitarnya. Ke dua bayi itu kemudian dibawa pulang, dirawat dan diajarkan ilmu oleh Empu Wisesa. Walaupun memiliki guru yang sama, Jaka dan Wira memiliki perangai yang berbeda. Jaka berparas tampan, Ia senang bermain dan pandai bercakap, walaupun pintar namun karena sifat nya yang menggampangkan sesuatu ia jauh ketinggalan dari Wira yang rajin mencari ilmu dan hakikat hidup. Selengkapnya…

3. Kisah Lutung Kasarung

Lutung Kasarung merupakan kisah pantun yang terkenal di kalangan masyarakat Sunda, Jawa Barat, Indonesia. Kisah ini mengisahkan perjalanan Sanghyang Guruminda dari Kahyangan ke bumi dalam wujud seekor lutung, yaitu kera hitam berekor panjang. Ketika sampai di bumi, ia tersesat di tengah hutan. Itulah sebabnya ia dipanggil Lutung Kasarung, yaitu lutung yang tersesat. Di hutan itu, ia bertemu dengan seorang putri bernama Purbasari. Meskipun berwujud seekor lutung, Lutung Kasarung berhasil menikahi Putri Purbasari. Bagaimana usaha Lutung Kasarung untuk menikahi Putri Purbasari? Ikuti kisahnya dalam Kisah Lutung Kasarung berikut ini! Alkisah, di daerah Jawa Barat, tersebutlah seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Tapa Agung yang bertahta di Kerajaan Pasir Batang. Sang Prabu mempunyai tujuh orang putri yang semuanya cantik jelita. Mereka adalah Purbararang (sulung), Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, dan si bungsu, Purbasari. Dari ketujuh putri sang Prabu, lima di antaranya telah menikah dan menjadi permaisuri di kerajaan lain. Kini, tinggal Purbararang dan Purbasari yang belum menikah. Namun, Putri Purbararang sudah mempunyai tunangan yang gagah dan tampan bernama Raden Indrajaya, putra salah seorang menteri kerajaan.

4. Legenda Karang Nini dan Bale Kambang

Karang Nini dan Bale Kambang adalah sebuah cerita rakyat yang telah melegenda di kalangan masyarakat Desa Emplak, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Keberadaan sepasang batu karang yang biasa disebut Karang Nini dan Bale Kambang di sekitar Pantai Karang Nini merupakan bukti dari cerita legenda ini. Bagaimana kisah kedua batu karang di pantai tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Karang Nini dan Bale Kambang berikut ini! Di Desa Karangtunjang atau yang kini bernama Desa Emplak, Jawa Barat, hiduplah sepasang suami istri bernama Aki Ambu Kolot dan Nini Arga Piara. Sudah puluhan tahun mereka menikah, namun belum juga dikaruniai momongan. Meskipun demikian, pasangan suami istri tersebut senantiasa hidup rukun dan damai. Mereka saling menyayangi satu sama lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Aki Ambu Kolot setiap hari menjelang malam pergi ke laut memancing ikan dan baru pulang pada esok harinya. Hasil tangkapannya dijual ke pasar atau ditukar dengan kebutuhan hidup lainnya. Jika memperoleh hasil tangkapannya melimpah, sebagian dibuat ikan asin oleh Nini Arga Piara.